Daftar Blog Saya

Jumat, 31 Maret 2017

Where is the energy?

Kemarin-kemarin saya tiba-tiba lagi kangen sama tulisan blogger-blogger yang awal-awal saya baca ketika pertama kali bikin blog. Perasaan saya baru kemarin saya menemukan tulisan-tulisan mereka. Tapi ternyata, waktu yang menurut saya "baru kemarin" itu adalah sudah beberapa tahun yang lalu, dan tentu saja mereka bertumbuh dengan sangat baik. 

Misalnya saja diana rikasari , beliau sekarang bukan hanya blogger saja tapi juga seorang enterpreuner, fashion designer yang bergerak di berbagai produk, dan juga penulis buku. Walaupun sudah aktif di berbagai bidang, beliau masih mengaktifkan blog lamanya. Kemudian benakribo , seorang blogger , content creator, youtuber, dan juga seorang penulis buku. Terus, arief Muhammad , Bang raditya dika dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu serta apa saja yang sekarang mereka lakuin. Karena menurut saya, mereka udah cukup terkenal sehingga mungkin sudah banyak yang tahu. Atau kalau memang tidak tahu mereka, kita tinggal kepoin saja di "mbah google" hehehe.....
 
Oke, kenapa saya tiba-tiba kangen mereka dan jarang buka blognya? mungkin karena mereka juga sudah jarang update blog mereka dan teralihkan oleh berbagai macam content media yang banyak sekali pilihannya serta tanggung jawab baru yang mungkin mereka emban. Walaupun saya masih melihat mereka nongol di beberapa media. Tetap saja, media yang paling saya kangenin itu tulisan mereka. Karena dari tulisan itu ada aja hal menariknya yang bisa diambil moral of story nya atau hanya sekedar hiburan dan informasi, Yah walaupun di beberapa content media mungkin sama. Tapi taste tulisan itu tetep aja beda.

Nah menurut saya mereka kan, udah super kece yah. Ketika saya membaca blog mereka lagi. Ternyata orang-orang yang kaya mereka ini enggak bisa diem. Mereka tuh selalu "berisik" dalam artian punya kegalauan-kegalauan tertentu yang mungkin mereka juga lagi struggling *yaiyalah nis, manusia....

Dari mereka yang menurut saya "berisik", saya jadi tahu bahwa kita tidak sendirian. Dan ketika kita menghadapi keberisikan itu dan nyari orang-orang yang memang ada ke-samaan, akhirnya kita  menemukan energi-energi yang meletup-letup setelahnya. 

Mereka yang selalu bertanya-tanya, 
Kalo kata bang radit mah"temenan sama siapa lagi yah" ketika butuh sesuatu hal baru yang ingin dipelajari. Kalo bang bena "I miss being me"  ketika mungkin banyak hal yang berubah secara tak kita sadari.

Pertanyaan-pertanyaan tentang hidup itu akan terus bertambah seiringnya pertumbuhan kita. Kadang ada yang sudah terjawab, kemudian datang pertanyaan yang lain lagi. Terkadang kita sudah pernah menghadapi fase-fase itu kemudian menghadapi lagi fase-fase tersebut dalam bentuk lain. 

Menurut saya benar bahwa kita harus sering mengaktifkan "radar pertanyaan" ketika kita sedang menjalani proses apapun. Agar kita juga tidak hanya sekedar robot yang tersetel ngejalani hal-hal itu-itu saja.  

Kalau kata Ika natassa dalam twitternya, kurang lebih intinya begini" Ketika kita membaca fiksi, sebenarnya kita sedang mencari  kesamaan cerita diri kita sendiri". Saya lupa persisnya hahaa. Tapi intinya ketika kita terkoneksi terhadap suatu bacaan, sebenarnya mungkin karena ada ke-samaan yang ada di bacaan tersebut. Makannya kadang kita suka bilang "iyah, gue banget ini".Dari mereka mungkin akan tumbuh energi-energi baru, yang sebenarnya energi-energi itu bertebaran dimana-mana.

The energy is.....

on your coffee in the night 
on your tea in the afternoon
on your favorite book
on your honest writing
on your favorite hobby
on your family 
on your friend 
on the child who smiling at you

............................

If you looking for the energy 
The answer is, on your self  (^.^)
















Minggu, 19 Maret 2017

Jendela dunia yang menghilang

Bagaimana mungkin, suatu budaya bisa tercipta tanpa adanya lingkungan yang memang mendukung terciptanya budaya tersebut. Mungkin bisa saja, tapi alangkah baiknya jika lingkungannya dibuat seakan-akan memang sudah memiliki budaya tersebut. Bukankah ketertarikan akan suatu hal, biasanya berawal dari seringnya kita melihat dan bisa mengaksesnya? Seperti halnya misalkan ketika kita ingin agar anak-anak bisa mencintai ilmu pengetahuan. Tapi kita akrabkan dengan televisi, ditambah lagi kita ikut-ikutan juga. Tak ada buku di lemari ataupun rak. Dan tak pernah melihat kita membaca. Bukankah itu hanya keinginan saja? bukan keseriusan yang ditindak lanjuti? 

Bisa saja lingkungan di rumah mungkin kurang aksesnya, kalau misalkan di luar lingkungan rumahnya  kemungkinan sangat mendukung. Bisa saja terbangun dengan baik. Tapi kalau misalkan tidak juga. Bukankah malahan ini, yang justru budaya ini dan itu hanya akan menjadi sekedar wacana? Maksudnya disini adalah budaya kepada hal-hal positif, misalnya budaya membaca. 

Saya suka heran, mall super gede bisa dibangun, tapi di sisi lain toko buku  di tutup. Banyak sekolah-sekolah yang hampir ambruk, fasilitas kesehatan yang dikorupsi. Industri ini dan itu dibangun, tanpa melihat dampak dari industri tersebut apakah lebih banyak merugikan atau menguntungkan. Jika pembangunan gedung ini dan itu begitu gencar dilakukan, begitu sulitkah untuk membangun fasilitas yang bisa membangun"otak-otak penghuninya". 

Sepertinya kita sudah cukup puas dengan mengaksesnya  melalui internet. Padahal dari tingkat kebenarannya masih disangsikan. Berita-berita hoax mudah sekali viral. Karena masyarakat lebih suka yang praktis-praktis saja. Tanpa mau mengkaji lebih dalam dan membaca lebih banyak. 

Berjam-jam mata kita tak bisa lepas dari ponsel, baca status ini dan itu di sosial media. Artikel berlembar-lembar di internet. Tapi membuka satu lembar buku rasanya males sekali. Begitukah, ke modern-nan telah menggeserkan semuanya jadi lebih praktis? Tapi bagaimana kalau informasi yang kita akses hanya sampah  belaka? Ibarat makanan, yang praktis itu kan "junkfood" tapi dari segi nutrisi begitu kurang. 

Saya bertanya kepada ade-ade remaja SMP yang kalau kita lagi ngumpul sibuk sekali dengan ponselnya. Berapa banyak waktu yang dihabiskan sama ponselnya? Mereka bilang sampai kecapean. Mereka sudah sangat kecanduan dengan dunia digital. Matanya tak berkedip, bahkan ketika ngobrol dan diskusi pun udah dicuekin itu saya didepan. Saya sampe geleng-geleng. Akhirnya suatu ketika saya kumpulin tuh ponsel mereka biar fokus. Sepertinya otak mereka tetap ke ponsel. Setelah selesai dan ketika akan pulang ponsel mereka pun melekat lagi dan langsung sibuk membalas pesan-pesan. Terus ada cerita di sekolahnya dimana satu kelas diulang gara-gara contekan massal dari "mbah google". Canggih bukan?

Mereka lebih suka membaca apa yang ada di ponselnya daripada membaca sekitar dan membaca buku. Ditambah pula , masa di provinsi segede ini, toko buku nya pada di tutup, kan sedih. Menggembar-gemborkan budaya baca. Toko buku aja ga ada, bagaimana ini? Biasanya kalau saya ke mall, selain pelesiran liat-liat atau membeli barang-barang dan kebutuhan tertentu juga suka emang pelesiran buku juga. Entah itu cuma menghabiskan waktu karena sedang menunggu teman, atau sekedar mencairkan otak yang sedang beku. Terus sekarang tempat pelesirannya enggak ada, saya jadi kurang alasan untuk pergi ke mall. 

Sebegitu sepikah peminat buku disini? hingga mereka mungkin merugi. Saya jadi gak kebayang sama ade-ade kita nanti kalau akses ke sumber ilmu pengetahuan saja begitu kurang. Waktu itu saya pernah melihat banner bahwa akan ada gramedia. Tapi, itu pun sampai sekarang belum terlihat perkembangannya. Malah tiba-tiba menghilang begitu saja.



Di lain pihak sebenarnya saya senang karena Perpustakaan Daerah sekarang, menjadi lebih nyaman dibandingkan pas jaman saya masih sekolah. Ditambah lagi sekarang jam bacanya bisa lebih panjang sampai pukul 18.00 dan hari minggu pun buka. Yah, kita positif thinking aja kali yah, mungkin mau ada toko buku  seperti gramedia yang mungkin lebih lengkap dan besar bisa ada di kota tercinta ini.

Katanya buku adalah jendela dunia. Jangan sampai kita kehilangannya. Nanti kita jadi buta terhadap dunia.